TINJAUAN ILMU FISIKA MODERN MENGENAI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW
KATA
PENGANTAR
Puji serta
syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Nikmat dan
Inayah-Nya. Dialah Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sehingga
kesehatan dan kesejahteraan selalu menyertai kita dalam melakukan segala
aktivitas. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun manusia sehingga berada di jalan yang benar,
baik itu dunia maupun akhirat.
Setelah melewati
perjalanan yang cukup panjang, Alhamdulillah karena berkat qudrah dan
iradah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul
“TINJAUAN ILMU FISIKA MODERN MENGENAI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD
SAW”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
karya tulis ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan kekurangan dan
keterbatasan wawasan ilmu yang penulis peroleh. Maka dengan segala kerelaan
hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan ke depan.
Selesainya
penyusunan karya tulis ini tidak terlepas oleh bantuan pihak-pihak yang telah
memberi bantuan, bimbingan, serta dorongan kepada penulis. Maka dengan segala
kerendahan hati penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ust.
Iqbal Santoso selaku Mudirul’Am Pesantren Persis Tarogong
2. Ust.
Saeful Hayat selaku Mudir MA Persis Tarogong
3. Usth.
Enung Jubaedah selaku wali kelas XII IPA 2 dan biro karya tulis yang telah
mengorbankan tenaga dan pikiran kepada penulis dalam penyusunan karya tulis ini
4. Ust.
Iwan Ridwansyah selaku pembimbing yang telah rela meluangkan waktunya untuk
memberi bimbingan, arahan, serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ini
5. Asatidz
dan asatidzah yang telah banyak membantu serta memotivasi penulis
6. Bapa,
Ibu, nenek, dan keluarga tercinta yang telah memberi dukungan baik moril maupun
materil selama penulis menuntut ilmu
7. Teman-teman
kelas XII IPA 2 yang telah memberi dukungan satu sama lain dan kesan-kesan
berharga yang tak pernah penulis lupakan
8. Teman-teman
seperjuangan, angkatan 30 yang telah sama-sama berjihad selama 3 tahun dalam
menuntut ilmu di pesantren ini
9. Guru,
pengurus, serta teman-teman di AMSC angkatan 9 yang telah memberi dukungan dan
masukan kepada penulis
10. Dan
kepada seluruh pihak yang telah membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP........................................................................................... iv
MOTTO.............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR...................................................................................... vi
DAFTAR ISI...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 3
C. Tujuan Penulisan........................................................................... 3
D. Metode Penulisan......................................................................... 4
E. Sistematika Penulisan.................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORETIS
A. Pengertian
Isra’ dan Mi’raj........................................................... 6
B.
Kisah
Terjadinya Isra’ Mi’raj........................................................ 8
C.
Perkembangan
Ilmu Fisika Modern.............................................. 11
BAB III PEMBAHASAN
A.
Peristiwa
Isra’ dalam tinjauan Fisika Modern.............................. 22
B.
Peristiwa
Mi’raj dalam tinjauan Fisika Modern............................ 30
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan....................................................................................... 43
B. Saran............................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 45
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Manusia
merupakan makhluk yang lemah dan serba terbatas. Berbeda dengan Tuhannya, Ia
Menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Ia Menciptakannya
sendiri dengan melawan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Hal ini
pasti menimbulkan banyak persoalan diantara manusia tentang segala ciptaan-Nya.
Salah satu yang menjadi tanda kuasa-Nya yaitu dengan menunjukkan mukjizat yang
diberikan kepada para Nabi dan Rasul pilihan-Nya. Tujuannya yaitu agar manusia
mengagungi dan mengkaji lebih dalam dengan tetap mempertahankan aqidah dan
mempertebal iman.
Bagi umat Muhammad SAW, salah satu
doktrin permasalahan yang paling kontroversial hingga saat ini yaitu tentang
perjalanan Isra’ Mi’raj. Isra’ Mi’raj adalah salah satu mukjizat yang diberikan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW dimana pada peristiwa ini turun perintah untuk
melaksanakan shalat lima waktu. Pada saat itu, kondisi umat islam sedang dalam
masa-masa sulit. Mereka diboikot oleh kaum Quraisy dari segi ekonomi maupun
sosial. Apalagi pada tahun ini Nabi SAW ditinggalkan oleh dua orang yang sangat
ia cintai, yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib. Maka Allah
menguatkan sekaligus menghibur Nabi dengan mendatangkan Jibril ketika ia sedang
bertafakur di
Masjidil
Haram. Jibril datang menemui Nabi hingga memenuhi horizon penglihatannya.
Lalu
Jibril mendekat dan menyampaikan perintah Allah, bahwa ia disuruh untuk
mengajak Rasulullah melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj. Sebelumnya, Jibril
membersihkan hati Nabi terlebih dahulu dengan air zam-zam sebagai persiapan
melakukan perjalanan ini. Maka dibawalah Nabi dengan mengendarai Buraq (Barqun = kilat) menuju Masjidil Aqsha
yang berjarak 1500 km dari Mekkah. Mereka menempuh perjalanan yang sangat jauh
untuk ukuran orang pada waktu itu hanya dalam waktu setengah malam. Atau bahkan
lebih singkat lagi (Mustofa, 2004:19).
Melakukan
perjalanan dengan jarak yang lumayan jauh dalam waktu yang singkat. Bukankah
ini termasuk masalah yang sulit dicerna oleh nalar manusia? Apalagi untuk
orang-orang pada masa Nabi Muhammad ketika Ilmu pengetahuan belum berkembang
pesat seperti sekarang. Setidaknya kita dapat menarik pertanyaan dari
perjalanan itu. Apakah Nabi SAW dan Jibril melakukan perjalanan dengan pesawat
yang super canggih seperti dalam film-film? Atau mereka saling kejar
mengejar dengan mengendarai makhluk
ajaib seperti buraq? Apabila dikaji dalam ilmu fisika, jelas pertanyaan nomor
dua tidak memungkinkan. Karena badan Nabi SAW tidak akan kuat melakukannya,
bahkan badan beliau dapat hancur berkeping-keping. Tetapi kenyataannya Nabi SAW
kembali dengan keadaan sehat bahkan esoknya dapat menceritakan peristiwa ini
kepada sahabat dan masyarakat. Pesan rahasia apakah yang Allah berikan kepada
kita dari perjalanan ini? Ilmu fisika modern menjawabnya agar dapat diterima
oleh akal manusia.
Dari
latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik mengangkatnya untuk dijadikan
karya tulis dengan judul:
TINJAUAN ILMU FISIKA
MODERN MENGENAI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW
B.Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis mengajukan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud dengan Isra’ dan Mi’raj?
2.
Bagaimana perkembangan
fisika modern?
3.
Bagaimana
terjadinya Isra’ dalam tinjauan fisika modern?
4.
Bagaimana
terjadinya Mi’raj dalam tinjauan fisika modern?
C.Tujuan
Penulisan
Dari
rumusan masalah diatas, dalam penyusunan karya tulis ini penulis mempunyai
beberapa tujuan penulisan, yaitu:
1.
Mengetahui apa
yang dimaksud dengan Isra’ dan Mi’raj
2.
Mengetahui perkembangan
fisika modern
3.
Mengetahui
bagaimana terjadinya Isra’ dalam tinjauan fisika modern
4.
Mengetahui
bagaimana terjadinya Mi’raj dalam tinjauan fisika modern
D.
Metode dan Teknik Penulisan
Adapun
metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah metode
deskripsi dan teknik bibliografi. Adapun metode deskripsi yaitu bersifat
pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2012:320)
Adapun yang dimaksud dengan teknik
bibliografi yaitu daftar buku atau karangan yang merupakan sumber rujukan dari
sebuah tulisan atau karangan atau daftar tentang suatu subjek ilmu atau juga
daftar pustaka .(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012:187)
E. Sistematika Penulisan
Agar
dalam penulisan karya tulis ini tidak melebar dari pokok pembahasan, maka
penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
v BAB
I. Pendahuluan, meliputi : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penulisan, Metode dan Teknik Penulisan,
dan Sistematika Penulisan.
v BAB
II . Landasan Teoritis,
meliputi : Pengertian Isra’ dan Mi’raj, Kisah Terjadinya Isra’ Mi’raj, dan Perkembangan
Ilmu Fisika Modern.
v BAB
III. Pembahasan, meliputi : Peristiwa
Isra’ dalam tinjauan Fisika modern dan Peristiwa Mi’raj dalam tinjauan Fisika Modern.
v BAB
IV. Penutup, meliputi : Kesimpulan dan Saran.
BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
A. Pengertian Isra’ dan Mi’raj
Isra
dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda. Yaitu terpisah menjadi peristiwa Isra’ dan
peristiwa Mi’raj yang terjadi secara bersamaan dalam satu malam. Namun,
sebagian orang menganggapnya sebagai suatu kejadian yang sama karena kedua kata
itu senantiasa digabungkan.
Secara bahasa Isra’ berarti berjalan pada
malam hari. Sedangkan secara istilah Isra adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW
bersama Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan mengendarai buraq. Perjalanan ini disebut juga
perjalanan horizontal, karena keadaan Nabi masih di bumi. Sebagaimana Allah SWT
Berfirman :
الْأَقْصَى الْمَسْجِدِ إِلَى الْحَرَامِ الْمَسْجِدِ مِنَ لَيْلًا بِعَبْدِهِ أَسْرَى الَّذِي
سُبْحَانَ
الْبَصِيرُ السَّمِيعُ هُوَ إِنَّه آَيَاتِنَا مِنْ لِنُرِيَهُ حَوْلَهُ بَارَكْنَا الَّذِي
Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Q.S Al-Israa’ : 1)
Secara
bahasa Mi’raj berarti tangga untuk naik ke atas. Sedangkan secara istilah
Mi’raj adalah diangkatnya Nabi bersama
Jibril dari bumi (Masjidil Aqsha) naik
ke langit ke tujuh hingga Sidratul Muntaha dengan mengarungi dimensi ruang dan
waktu. Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak
terlampaui’. Yaitu suatu tempat dimana tak ada satu pun makhluk yang dapat
melampaui dan mengetahui lebih banyak lagi.
Dalam istilah
lain disebut bahwa Mi’raj adalah kenaikan Nabi SAW dari Masjidil Aqsha di
Palestina ke alam atas melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitul Makmur,
sidratul muntaha, arasy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga
menerima wahyu di hadirat Allah SWT. Perjalanan ini mengandung perintah
mendirikan shalat lima waktu sehari-semalam. (Ali, 2005: 233)
Sebagaimana Allah SWT Berfirman :
(15) جَنَّةُ الْمَأْوَى عِنْدَهَا (14) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (13) وَلَقَدْ رَآَهُ نَزْلَةً أُخْرَى
لَقَدْ رَأَى (17)
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (16) إِذْ يَغْشَى
السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى
(18) مِنْ آَيَاتِ
رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Dan sesungguhnya dia (Nabi
Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu
yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat
tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu
selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)
B. Kisah Terjadinya Isra dan Mi’raj
Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun
sebelum hijrah. Ibnu Hazm memastikan peristiwa itu terjadi pada malam 27 bulan
Rajab. Inilah pendapat yang masyhur dan dipegang oleh kebanyakan kaum muslimin,
yakni terjadi pada malam senin, setelah Rasulullah SAW pulang dari
perjalanannya ke Tha’if. (Ridha,2004:272)
Peristiwa ini
dijelaskan dibeberapa hadist yang panjang, diantaranya hadist
yang diriwayatkan oleh Malik bin
Sha’sha’ah. Pada waktu itu Nabi sedang berada di Hathim (dekat Ka’bah) sambil
berbaring miring. Tiba-tiba datanglah Jibril, lalu ia membelah dada Nabi dan
mengeluarkan hatinya. Setelah itu Jibril membersihkan hatinya dengan air
Zam-zam yang disediakan dari bejana emas. Selanjutnya datanglah seekor binatang
kendaraan , lebih kecil dari bighal dan lebih besar dari keledai yang berwarna
putih. Kendaraan ini biasa disebut Buraq dan dengan mengendarainya Nabi dapat
sampai di Masjidil Aqsha sejauh pandangan mata.
Setelah
sampai di Baitul Maqdis, Nabi SAW masuk ke Masjidil Aqsha dan melakukan shalat
dua rakaat yang diikuti para nabi terdahulu. Setelah selesai shalat, Jibril
datang lagi sambil membawa dua gelas minuman. Gelas yang satu berisi susu dan
yang satu lagi berisi arak. Malaikat Jibril mempersilahkan Nabi Muhammad SAW
meminumnya. Nabi Muhammad SAW memilih susu. Melihat itu Jibril berkata. “Tuan
diatas fitrah. Seandainya tuan memilih arak, niscaya sesatlah umat tuan.”
Sampai disini berakhirlah perjalanan Isra’ Nabi SAW di permukaan bumi. (Ali,
2005: 233)
Kemudian
berangkatlah Jibril bersama Nabi SAW dengan mengendarai Buraq naik ke langit
terendah atau langit dunia. Sebelum masuk ke langit berikutnya, JIbril ditanya
oleh penjaga “siapakah ini?” Jibril menjawab, “Jibril.” Ia kemudian ditanya
pula “siapakah yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad” Ia kemudian ditanya
lagi, “apakah dia telah mendapat panggilan? Jibril menjawab, “ya, dia telah
mendapat panggilan.” Setelah mendengar jawaban itu, penjaga langit dunia itu
membuka pintu untuk Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril, sambil mengucap
sambutan terhadap kedatangannya. (Ali , 2005: 234)
Lanjut
Yunasril Ali (2005:234) sebagaimana menurut hadist shahih bahwa Nabi SAW
bertemu dengan Nabi Adam AS di langit pertama. Lalu Nabi Muhammad SAW
memberinya salam dan ia menjawab salam dan mendo’akan Nabi SAW. Sesudah itu
tiba-tiba Nabi SAW melihat secara samar wujud berwarna hitam yang ada disebelah
kanan dan kiri tempat duduk Nabi Adam AS. Apabila melihat ke sebelah kanan,
Nabi Adam AS tertawa karena didalamnya adalah orang-orang ahli surga. Tetapi
apabila melihat ke arah kiri ia tampak menangis karena didalamnya adalah
orang-orang ahli neraka.
Kemudian
Malaikat Jibril beserta Nabi Muhammad SAW naik ke langit kedua. Keduanya
disambut pula seperti pada langit pertama. Disini Nabi SAW bertemu dengan Nabi
Isa AS dan Nabi Yahya AS. Nabi Muhammad SAW mengucapkan salam kepada keduanya.
Salam ini disambut baik dengan rasa hormat. Keadaan seperti ini terjadi pula
pada langit ketiga sampai langit ketujuh. Dilangit ketiga Nabi SAW bertemu
dengan Nabi Yusuf AS, dilangit keempat beliau bertemu dengan Nabi Idris AS,
dilangit kelima dengan Nabi Harun AS, dilangit keenam dengan Nabi Musa AS, dan
dilangit ketujuh dengan Nabi Ibrahim AS yang sedang bersandar di BaitulMakmur.
Setelah dari langit ketujuh, sampailah Nabi SAW di
Sidratul Muntaha. Yaitu sebuah pohon yang rindang dengan buahnya sebesar qulah
di negeri Hajar, dan daun-daunnya seperti telinga gajah. Di Sidratul Muntaha
juga terdapat empat sungai yang mengalir dengan dua sungai tampak nyata dan dua
sungai lainnya tidak nampak nyata. Adapun yang tidak nampak nyata adalah dua
sungai disurga, sedangkan yang nampak nyata adalah sungai Nil dan sungai
Eufrat. Nabi SAW juga diperlihatkan Baitul Makmur yaitu rumah yang setiap
harinya dimasuki tujuh puluh ribu malaikat.
Lalu, Nabi SAW diberi 3 wadah yang masing-masing berisi
khamr, susu, dan madu. Ternyata Nabi Muhammad SAW mengambil wadah yang berisi
susu, maka Jibril berkata: “Inilah fitrah yang dianut olehmu dan umatmu.”
(Ridha, 2004:282)
Di Sidratul Muntaha Nabi SAW meninggalkan
Jibril dan berangkat ke Mustawa, ke hadirat Allah SWT. Di hadirat Allah SWT
Nabi SAW menerima wahyu kewajiban shalat lima puluh kali sehari semalam. Akan
tetapi ketika turun dan sampai di langit keenam, Nabi Musa AS menyarankan agar
shalat yang lima puluh kali itu dikurangi, mengingat kemampuan umat Nabi
Muhammad SAW amat terbatas. Atas saran itu Nabi SAW kembali ke hadirat Allah
SWT dan memohon dikurangi shalat yang lima puluh kali itu. Akhirnya Allah SWT
berkenan menguranginya menjadi lima shalat dalam sehari semalam. (Ali, 2005:
234)
C. Perkembangan Ilmu Fisika Modern
Fisika
adalah sains atau ilmu tentang alam dalam makna yang terluas. Fisika
mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan
waktu. Fisikawan mempelajari perilaku dan sifat materi dalam bidang yang sangat
beragam, mulai dari partikel submikroskopis yang membentuk segala materi
(fisika partikel) hingga perilaku materi alam semesta sebagai satu kesatuan
kosmos.
Beberapa
sifat yang dipelajari dalam fisika merupakan sifat yang ada dalam semua sistem
materi yang ada, seperti hukum kekekalan energi. Sifat semacam ini sering
disebut sebagai hukum fisika. Fisika sering disebut sebagai "ilmu paling
mendasar", karena setiap ilmu alam lainnya (biologi, kimia, geologi, dan
lain-lain) mempelajari jenis sistem materi tertentu yang mematuhi hukum fisika.
Misalnya, kimia adalah ilmu tentang molekul dan zat kimia yang dibentuknya.
Sifat suatu zat kimia ditentukan oleh sifat molekul yang membentuknya, yang
dapat dijelaskan oleh ilmu fisika seperti mekanika kuantum, termodinamika, dan
elektromagnetika.
Sejarah
fisika sepanjang yang telah diketahui telah dimulai pada tahun sekitar 2400 SM,
ketika kebudayaan Harapan menggunakan suatu benda untuk memperkirakan dan
menghitung sudut bintang di angkasa. Sejak saat itu fisika terus
berkembang sampai sekarang. Perkembangan ini tidak hanya membawa perubahan di
dalam bidang dunia benda, matematika dan filosofi, namun juga melalui
teknologi, membawa perubahan ke dunia sosial masyarakat. Revolusi ilmu
yang berlangsung terjadi pada sekitar tahun 1600 dapat dikatakan menjadi batas antara
pemikiran purba dan lahirnya fisika klasik. Dan akhirnya berlanjut ke
tahun 1900 yang menandakan mulai berlangsungnya era baru era fisika modern.
Menurut Richtmeyer, sejarah
perkembangan ilmu fisika dibagi dalam empat periode yaitu:
a. Periode
Pertama
Dimulai
dari zaman prasejarah sampai tahun 1550 an. Pada periode pertama ini
dikumpulkan berbagai fakta fisis yang dipakai untuk membuat perumusan empirik.
Dalam periode pertama ini belum ada penelitian yang sistematis. Beberapa
penemuan pada periode ini diantaranya :
1. 2400000
SM - 599 SM: Di bidang astronomi sudah dihasilkan Kalender Mesir dengan 1
tahun = 365 hari, prediksi gerhana, jam matahari, dan katalog bintang. Dalam
Teknologi sudah ada peleburan berbagai logam, pembuatan roda, teknologi bangunan
(piramid), standar berat, pengukuran, koin (mata uang).
2. 600 SM – 530 M: Perkembangan ilmu dan teknologi sangat terkait dengan perkembangan matematika. Dalam bidang Astronomi sudah ada pengamatan tentang gerak benda langit (termasuk bumi), jarak dan ukuran benda langit. Dalam bidang sain fisik Physical Science, sudah ada Hipotesis Democritus bahwa materi terdiri dari atom-atom. Archimedes memulai tradisi “Fisika Matematika” untuk menjelaskan tentang katrol, hukum-hukum hidrostatika dan lain-lain. Tradisi Fisika Matematika berlanjut sampai sekarang.
3. 530 M – 1450 M: Saat itu kebudayaan didominasi oleh Kekaisaran Roma, ilmu medik dan fisika berkembang sangat pesat yang dipimpin oleh ilmuwan dan filsuf dari Yunani. Runtuhnya Kekaisaran Roma berakibat pada mundurnya perkembangan ilmu pengetahuan di dataran Eropa dan berkembang pesat sains di Timur Tengah. Banyak ilmuwan dari Yunani yang mencari dukungan dan bantuan di timur tengah ini. Akhirnya ilmuwan muslim pun berhasil mengembangkan ilmu astronomi dan matematika, yang akhirnya menemukan bidang ilmu pengetahuan baru yaitu kimia. Dalam bidang Astronomi ada “Almagest” karya Ptolomeous yang menjadi teks standar untuk astronomi, teknik observasi berkembang, trigonometri sebagai bagian dari kerja astronomi berkembang. Setelah bangsa Arab menaklukkan Persia, ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat di Persia dan ilmuwan terus bermunculan yang akhirnya dengan giatnya memindahkan ilmu yang telah ada dari kebudayaan Yunani ke timur tengah yang saat itu sedang mundur dari Eropa yang mulai memasuki abad kegelapan.
2. 600 SM – 530 M: Perkembangan ilmu dan teknologi sangat terkait dengan perkembangan matematika. Dalam bidang Astronomi sudah ada pengamatan tentang gerak benda langit (termasuk bumi), jarak dan ukuran benda langit. Dalam bidang sain fisik Physical Science, sudah ada Hipotesis Democritus bahwa materi terdiri dari atom-atom. Archimedes memulai tradisi “Fisika Matematika” untuk menjelaskan tentang katrol, hukum-hukum hidrostatika dan lain-lain. Tradisi Fisika Matematika berlanjut sampai sekarang.
3. 530 M – 1450 M: Saat itu kebudayaan didominasi oleh Kekaisaran Roma, ilmu medik dan fisika berkembang sangat pesat yang dipimpin oleh ilmuwan dan filsuf dari Yunani. Runtuhnya Kekaisaran Roma berakibat pada mundurnya perkembangan ilmu pengetahuan di dataran Eropa dan berkembang pesat sains di Timur Tengah. Banyak ilmuwan dari Yunani yang mencari dukungan dan bantuan di timur tengah ini. Akhirnya ilmuwan muslim pun berhasil mengembangkan ilmu astronomi dan matematika, yang akhirnya menemukan bidang ilmu pengetahuan baru yaitu kimia. Dalam bidang Astronomi ada “Almagest” karya Ptolomeous yang menjadi teks standar untuk astronomi, teknik observasi berkembang, trigonometri sebagai bagian dari kerja astronomi berkembang. Setelah bangsa Arab menaklukkan Persia, ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat di Persia dan ilmuwan terus bermunculan yang akhirnya dengan giatnya memindahkan ilmu yang telah ada dari kebudayaan Yunani ke timur tengah yang saat itu sedang mundur dari Eropa yang mulai memasuki abad kegelapan.
Dalam Sains Fisik, Aristoteles berpendapat bahwa gerak bisa
terjadi jika ada yang nendorong secara terus menerus kemagnetan berkembang,
eksperimen optika berkembang, ilmu Kimia berkembang (Alchemy). Tokoh yang
berkontribusi dalam fisika pada masa keemasan Islam :
1. Jabir Ibnu Hayyan
Orang-orang
Eropa menamakannya Gebert, ia hidup antara tahun 721-815 M. Dia adalah seorang
tokoh Islam yang mempelajari dan mengembangkan dunia Islam yang pertama. Ilmu
tersebut kemudian berkembang dan kita mengenal sebagai ilmu kimia. Bidang
keahliannya adalah bidang Logika, Filosofi, Kedokteran, Fisika, Mekanika,
dan sebagainya.
2. Abu Yusuf Yacub Ibnu Ishak Al-Kindi
Dalam
dunia barat dia dikenal dengan nama Al-Kindus. Memang sudah menjadi semacam
adat kebiasaan orang barat pada masa lalu dengan melatinkan nama-nama orang
terkemuka, sehingga kadang-kadang orang tidak mengetahui apakah orang tersebut
muslim atau bukan. Al-Kindi adalah seorang filosof muslim dan ilmuwan sedang
bidang disiplin ilmunya adalah Filosofi, Matematika, Logika, Musik, Ilmu
Kedokteran.
3.
Muhammad Ibnu Musa Al-Khawarizmi
Orang
Eropa menyebutnya dengan Algorisma. Nama itu kemudian dipakai orang-orang barat
dalam arti kata Aritmatika atau ilmu hitung. Karena dia adalah seorang muslim
yang pertama-tama dan ternama dalam ilmu Matematika, ilmu hitung. Bukunya yang
terkenal berjudul Al-jabar Wal Muqobalah, kemudian buku tersebut disalin oleh
orang-orang barat dan sampai sekarang ilmu itu kita kenal dengan nama
Aljabar.
4.
Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi
Hidup
antara tahun 865-925 dan namanya dilatinkan menjadi Razes. Seorang dokter
klinis yang terbesar pada masa itu dan pernah mengadakan satu penelitian
Al-Kimi atau sekarang lebih terkenal disebut ilmu Kimia. Dalam penelitiannya
waktu itu Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi sudah menggunakan peralatan khusus dan
secara sistematis hasil karyanya dibukukan, sehingga orang sekarang tidak sulit
mempelajarinya. Disamping itu Al-Razi telah mengerjakan pula proses kimiawi
seperti Destilasi, Kalsinasi dan sebagainya dan bukunya tersebut merupakan
suatu buku pegangan laboratorium kimia yang pertama di dunia.
5.
Abu Nasir Al-Farabi
Orang
barat menyebutnya dengan Alfarabius. Ia hidup tahun 870-900 M dan merupakan
tokoh Islam yang pertama dalam bidang Logika. Al Farabi juga mengembangkan dan
mempelajari ilmu Fisika, Matematika, Etika, Filosofi, Politik, dan sebagainya.
6.
Abu Ali Al-Husein Ibnu Sina
Abu
Ali Al-Husein Ibnu Sina atau dikenal dengan nama Avicena, yang hidup antara
tahun 980-1037 M. Seorang ilmuwan muslim dan Filosof besar pada waktu itu,
hingga kepadanya diberikan julukan Syekh Al-Rais. Keistimewaannya antara lain
pada masa umur 10 tahun sudah hafal Al-Qur`an, kemudian pada usia 18 tahun
sudah mampu menguasai semua ilmu yang ada pada waktu itu, bidang keahliannya
adalah ilmu Kedokteran, ilmu Fisika, Geologi, Mineralogi.
4. 1450 M- 1550 M: Ada publikasi teori heliosentris dari Copernicus yang menjadi titik penting dalam revolusi saintifik. Sudah ada arah penelitian yang sistematis
b. Periode
Kedua
Dimulai dari tahun 1550an sampai tahun 1800an. Pada awal
abad 17, Galileo membuka penggunaan eksperimen untuk memastikan kebenaran teori
fisika, yang merupakan kunci dari metode sains. Galileo memformulasikan dan
berhasil mengetes beberapa hasil dari dinamika mekanik, terutama Hukum
Inert.
Pada 1687, Isaac Newton menerbitkan Filosofi Natural
Prinsip Matematika, memberikan penjelasan yang jelas dan teori fisika yang
sukses yaitu Hukum gerak Newton, yang merupakan sumber dari mekanika klasik dan
Hukum Gravitasi Newton, yang menjelaskan gaya dasar gravitasi. Kedua teori ini
cocok dalam eksperimen. Dalam Mekanika selain Hukum-hukum Newton dihasilkan
pula Persamaan Bernoulli, Teori Kinetik Gas, Vibrasi Transversal dari
Batang, Kekekalan Momentum Sudut, Persamaan Lagrange. Dalam Fisika Panas ada
penemuan termometer, azas Black, dan Kalorimeter. Pada 1733, Daniel
Bernoulli menggunakan argumen statistika dalam mekanika klasik untuk menurunkan
hasil termodinamika, memulai bidang mekanika statistik. Pada 1798,
Benjamin Thompson mempertunjukkan konversi kerja mekanika ke dalam panas. Dalam
Gelombang Cahaya ada penemuan aberasi dan pengukuran kelajuan cahaya. Dalam
Kelistrikan ada klasifikasi konduktor dan nonkonduktor, penemuan elektroskop,
pengembangan teori arus listrik yang serupa dengan teori penjalaran panas dan
Hukum Coulomb.
c.
Periode Ketiga
Dimulai
dari tahun 1800an sampai 1890an. Pada periode ini diformulasikan konsep-konsep
fisika yang mendasar yang sekarang kita kenal dengan sebutan Fisika Klasik.
Dalam periode ini Fisika berkembang dengan pesat terutama dalam mendapatkan
formulasi-formulasi umum dalam Mekanika, Fisika Panas, Listrik-Magnet dan
Gelombang, yang masih terpakai sampai saat ini.
Dalam Mekanika diformulasikan Persamaan Hamiltonian (yang kemudian dipakai dalam Fisika Kuantum), Persamaan gerak benda tegar, teori elastisitas, hidrodinamika. Dalam Fisika Panas diformulasikan Hukum-hukum termodinamika, teori kinetik gas, penjalaran panas dan lain-lain.
Dalam Listrik-Magnet diformulasikan Hukum Ohm, Hukum Faraday, Teori Maxwell dan lain-lain. Dalam Gelombang diformulasikan teori gelombang cahaya, prinsip interferensi, difraksi dan lain-lain.
Dalam Mekanika diformulasikan Persamaan Hamiltonian (yang kemudian dipakai dalam Fisika Kuantum), Persamaan gerak benda tegar, teori elastisitas, hidrodinamika. Dalam Fisika Panas diformulasikan Hukum-hukum termodinamika, teori kinetik gas, penjalaran panas dan lain-lain.
Dalam Listrik-Magnet diformulasikan Hukum Ohm, Hukum Faraday, Teori Maxwell dan lain-lain. Dalam Gelombang diformulasikan teori gelombang cahaya, prinsip interferensi, difraksi dan lain-lain.
d. Periode
Keempat
Dimulai dari tahun 1890an sampai
sekarang. Pada akhir abad ke 19 ditemukan beberapa fenomena yang tidak bisa
dijelaskan melalui fisika klasik. Hal ini menuntut pengembangan konsep fisika
yang lebih mendasar lagi yang sekarang disebut Fisika Modern. Dalam
periode ini dikembangkan teori-teori yang lebih umum yang dapat mencakup
masalah yang berkaitan dengan kecepatan yang sangat tinggi (relativitas)
atau dan yang berkaitan dengan partikel yang sangat kecil (teori
kuantum).
Teori Relativitas yang dipelopori
oleh Einstein menghasilkan beberapa hal diantaranya adalah kesetaraan massa
dan energi E=mc2 yang dipakai sebagai salah satu prinsip dasar
dalam transformasi partikel. Teori Kuantum, yang diawali oleh karya
Planck dan Bohr dan kemudian dikembangkan oleh Schrodinger, Pauli, Heisenberg
dan lain-lain, melahirkan teori-teori tentang atom, inti, partikel sub
atomik, molekul, zat padat yang sangat besar perannya dalam pengembangan
ilmu dan teknologi.
Percobaan Michelson-Morley, salah satu percobaan paling
penting dan mahsyur dalam sejarah fisika, dilakukan pada tahun 1887 oleh
Albert Michelson dan Edward Morley di tempat yang sekarang menjadi
kampus Case Western Reserve University. Percobaan ini dianggap sebagai
petunjuk pertama terkuat untuk menyangkal keberadaan eter sebagai medium
gelombang cahaya. Percobaan ini juga telah disebut sebagai titik tolak
untuk aspek teoritis revolusi ilmiah kedua. Albert Michelson dianugerahi
hadiah Nobel fisika tahun 1907 terutama untuk melaksanakan percobaan
ini. Dalam percobaan ini Michelson dan Morley berusaha mengukur
kecepatan planet Bumi terhadap eter, yang pada waktu itu dianggap
sebagai medium perambatan gelombang cahaya. Analisis terhadap hasil
percobaan menunjukkan kegagalan pengamatan pergerakan bumi terhadap
eter. Ekperimen Michelson-Morley yang sangat peka tidak mendapatkan gerak bumi
terhadap eter. Ini berarti tidak mungkin ada eter dan tidak ada pengertian
gerak absolut. Setiap gerak adalah relatif terhadap kerangka acuan
khusus yang bukan merupakan kerangka acuan universal.
Dalam eksperimen yang pada hakikatnya membandingkan kelajuan
cahaya sejajar dengan dan tegak lurus pada gerak bumi mengelilingi
matahari, juga eksperimen ini memperlihatkan bahwa kelajuan cahaya sama
bagi setiap pengamat, suatu hal yang tidak benar bagi gelombang memerlukan
medium material untuk merambat. Eksperimen ini telah meletakkan dasar
bagi teori relativitas khusus Einstein yang dikemukakan pada tahun 1905,
suatu teori yang sukar diterima pada waktu itu, bahkan Michelson
sendiri kurang bisa menerimanya. Percobaan Millikan atau dikenal
pula sebagai Percobaan oil-drop (1909) saat itu dirancang untuk mengukur
muatan listrik elektron. Rober Millikan melakukan percobaan tersebut
dengan menyimbangkan gaya-gaya antara gaya gravitasi dan gaya listrik
pada suatu tetes kecil minyak yang berada di antara dua buah pelat
elektroda. Dengan mengetahui besarnya medan listrik, muatan pada tetes
minyak yang dijatuhkan (droplet) dapat ditentukan. Dengan mengulangi
eksperimen ini sampai beberapa kali, ia menemukan bahwa nilai-nilai yang
terukur selalu kelipatan dari suatu bilangan yang sama. Ia lalu menginterpretasikan
bahwa bilangan ini adalah muatan dari 1 elektron = 1.602× 10−19 coulomb (satuan
SI untuk muatan listrik). Tahun 1923, Millikan mendapat sebagian hadiah
Nobel bidang fisika akibat percobaannya ini.
Istilah fisika modern diperkenalkan karena banyaknya
fenomena-fenomena mikroskopis dan hukum-hukum baru yang ditemukan sejak
tahun 1890. Meskipun mekanika klasik hampir cocok dengan teori klasik lainnya
seperti elektrodinamika dan termodinamika klasik, ada beberapa
ketidaksamaan ditemukan di akhir abad 19 yang hanya bisa diselesaikan
dengan fisika modern. Khususnya elektrodinamika klasik tanpa relativitas
memperkirakan bahwa kecepatan cahaya adalah relatif konstan dengan Luminiferous
aether, perkiraan yang sulit diselesaikan dengan mekanik klasik dan yang menuju
kepada pengembangan relativitas khusus. Ketika digabungkan dengan termodinamika
klasik, mekanika klasik menuju ke paradoks Gibbs yang menjelaskan entropi bukan
kuantitas yang jelas dan ke penghancuran ultraviolet yang memperkirakan benda
hitam mengeluarkan energi yang sangat besar. Usaha untuk menyelesaikan
permasalahan ini menuju ke pengembangan mekanika kuantum.
Pada tahun 1900, Max Planck memperkenalkan ide bahwa energi
dapat dibagi-bagi menjadi beberapa paket atau kuanta. Ide ini secara khusus
digunakan untuk menjelaskan sebaran intensitas radiasi yang dipancarkan oleh
benda hitam.Pada tahun 1905, Albert Einstein menjelaskan efek fotoelektrik
dengan menyimpulkan bahwa energi cahaya datang dalam bentuk kuanta yang disebut
foton. Pada tahun 1913, Niels Bohr menjelaskan garis spektrum dari atom
hidrogen, lagi dengan menggunakan kuantisasi. Pada tahun 1924, Louis de Broglie
memberikan teorinya tentang gelombang benda. Teori-teori tersebut meskipun
sukses, tetapi sangat tidak ada penjelasan jelas untuk kuantisasi. Mereka
dikenal sebagai teori kuantum lama.
Frase "Fisika kuantum" pertama kali digunakan oleh
Johnston dalam tulisannya Planck's Universe in Light of Modern Physics (Alam
Planck dalam cahaya Fisika Modern). Mekanika kuantum modern lahir pada tahun
1925, ketika Werner Karl Heisenberg mengembangkan mekanika matriks dan Erwin
Schrodinger menemukan mekanika gelombang dan persamaan Schrodinger. Schrodinger
beberapa kali menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut sama. Heisenberg
merumuskan prinsip ketidakpastiannya pada tahun 1927, dan interpretasi
Kopenhagen terbentuk dalam waktu yang hampir bersamaan. Pada 1927, Paul Dirac
menggabungkan mekanika kuantum dengan relativitas khusus. Dia juga membuka
penggunaan teori operator, termasuk notasi bracket yang berpengaruh. Pada tahun
1932, Neumann Janos merumuskan dasar matematika yang kuat untuk mekanika
kuantum sebagai teori operator. Pada 1927, percobaan untuk menggunakan
mekanika kuantum ke dalam bidang di luar partikel satuan yang menghasilkan
teori medan kuantum. Teori Kromodinamika kuantum diformulasikan pada awal
1960-an. Teori yang kita kenal sekarang ini diformulasikan oleh Polizter, Gross
and Wilzcek pada tahun 1975.Mekanika kuantum sangat berguna untuk menjelaskan
apa yang terjadi di level mikroskopik, misalnya elektron di dalam atom. Atom
biasanya digambarkan sebagai sebuah sistem di mana elektron (yang bermuatan
listrik negatif) beredar seputar nukleus (yang bermuatan listrik positif).
Menurut mekanika kuantum, ketika sebuah elektron berpindah dari energi level
yang lebih tinggi (misalnya n=2) ke energi level yang lebih rendah (misalnya
n=1), energi berupa sebuah cahaya partikel, foton, dilepaskanE = hv di mana E
adalah energi (J), h adalah tetapan Planck, h = 6,63 x 10-34 (Js), v
adalah frekuensi dari cahaya (Hz). Dalam spektrometer massa, telah
dibuktikan bahwa garis-garis spektrum dari atom yang di ionisasi tidak kontinu
hanya pada frekuensi atau panjang gelombang tertentu garis-garis spektrum
dapat dilihat.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Peristiwa
Isra’ Dalam Tinjauan Fisika Modern
الْأَقْصَى الْمَسْجِدِ إِلَى
الْحَرَامِ
الْمَسْجِدِ
مِنَ
لَيْلًا بِعَبْدِهِ أَسْرَى الَّذِي
سُبْحَانَ
الْبَصِيرُ السَّمِيعُ هُوَ إِنَّه
آَيَاتِنَا مِنْ لِنُرِيَهُ حَوْلَهُ بَارَكْنَا الَّذِي
Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Q.S Al-Israa’ : 1)
Ayat diatas dimulai dengan kalimat subhanallah. Kenapa harus subhanallah? Dalam Islam, kalimat ini
biasa digunakan untuk mengagumi hal-hal yang menakjubkan. Lazimnya, karena
perjalanan isra dan mi’raj merupakan perjalanan yang luar biasa dan layak untuk
dikaji. Kalimat ini juga sebagai pembuka di kalimat-kalimat berikutnya.
Dalam Firman Allah SWT tersebut terdapat kata asraa yang berarti “memperjalankan”.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan ini bukan sesuai
kehendaknya tetapi kehendak Allah SWT. Maka Allah mengutus malaikat Jibril
untuk mendampingi Nabi dengan melewati dimensi ruang
dan waktu. Allah SWT
sengaja memilih Jibril karena Jibril merupakan makhluk yang berasal dari
cahaya.
Untuk
perjalanan Isra ini penulis membaginya menjadi beberapa penjelasan sebagai
berikut :
a) Badan Cahaya
Nabi
SAW dengan didampingi malaikat Jibril dengan mengendarai Buraq melesat dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya
yaitu sekitar 300.000 km perdetik. Jika seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara
dengan perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik, maka
jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang
berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal,
Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan
elektris tadi.
Pada abad 19 Albert Einstein mengungkapkan bahwa
kecepatan tertinggi di alam semesta yaitu kecepatan cahaya. Dari sinilah muncul
pemahaman mengenai fisika modern. Dalam fisika modern diartikan bahwa kecepatan
cahaya dapat dilakukan oleh sesuatu yang sangat ringan bahkan hampir tidak
mempunyai massa. Hanya foton lah yang merupakan kuantum-kuantum penyusun cahaya yang dapat melakukan itu.
Bahkan elektron pun yang massa nya hampir mendekati nol tidak dapat melakukan
kecepatan setinggi itu.
Dari sini muncul pertanyaan, dapatkah Nabi SAW yang
bukan merupakan makhluk cahaya melakukan kecepatan setinggi itu? Bagi malaikat
Jibril dan Buraq tidak jadi masalah, karena badan mereka tersusun dari
foton-foton penyusun cahaya sehingga dapat dengan mudah melakukannya. Lain lagi
dengan Nabi SAW, badannya tersusun oleh satuan-satuan terkecil penyusun tubuh
yaitu sel. Jumlah selnya pun sekitar 390 milyar. Dari sel-sel itu tersusun
menjadi jaringan, organ, dan sistem organ. Selain itu terdapat molekul-molekul
berupa H2O, O2, asam amino, proton, neutron, dan
elektron.
Seluruh bagian-bagian penyusun itu
bergandengan satu sama lain dengan menggunakan energi ikat, supaya tidak
tercerai berai. Partikel-partikel sub atomik bergandengan membentuk atom.
Atom-atom bergandengan membentuk molekul.
Demikian pula berbagai jenis
molekul bergandengan membentuk sel-sel tubuh dan seluruh organ. Dan kemudian
organ-organ itu berkolaborasi membentuk badan kita.
Karena manusia
memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan
cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah akan
mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
(Mustofa, 2004:28)
Dalam ilustrasinya,
Agus Mustofa (2004:29) memberi gambaran tentang seorang pilot yang melakukan
manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke langit atau
manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya akan mengalami tekanan
alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya percepatan yang ia
lakukan.
Jika pilot
bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka
badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot dalam
kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan manuver bobotnya akan
menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’
di otak akan semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah
sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’.
Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa
mengalami black out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Ilustrasi
diatas masih tergolong kecepatan rendah, tetapi resikonya sudah sangat bahaya
apalagi kecepatan cahaya yang umumnya lebih tinggi dari itu. Jelas badan
manusia tidak akan mampu menahannya. Bukan hanya pingsan, tetapi badan manusia
akan tercerai berai menjadi partikel-partikel sub atomik. Hal ini terjadi
karena tubuh manusia tersusun dari partikel-partikel sub atomik yang saling
bergandengan menggunakan binding energy atau energi ikat. Ketika dipercepat
dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan gaya yang berlawanan dengan energi
ikat tersebut. Semakin tinggi kecepatan yang diberikan kepada benda, maka energi
yang melawan binding energy tersebut semakin besar. Sehingga, suatu ketika
tubuh manusia akan “meledak” dan menjadi partikel-partikel kecil.
Hal ini sesuai dengan hasil relativitas khusus
yang dikemukakan oleh Einstein.
m =
dengan m, mo, v dan c masing-masing adalah massa benda
bergerak, massa ketika diam, kecepatan gerak benda dan kecepatan cahaya.
(Purwanto, 2008:311)
Jika demikian,
bukankah Nabi Muhammad SAW juga manusia biasa seperti pilot dalm ilustrasi
tadi? Yang badannya tidak akan mampu melakukan kecepatan setinggi itu, bahkan
badan beliau akan hancur menjadi partikel-partikel kecil. Memang secara ilmiah
sulit untuk mengatakan bahwa Nabi SAW melakukan perjalanan tersebut dengan
badan badannya yang normal. Beliau tidak akan bisa bergerak sekencang malaikat
Jibril dan Buraq karena badannya memang bukan terbuat dari
cahaya. Tetapi dalam fisika modern semua ini dapat teratasi yaitu dengan
penjelasan reaksi Annihilasi.
Apa itu reaksi
Annihilasi? Yaitu proses rekontruksi sebuah materi menjadi sebuah gelombang.
Ini dapat terjadi karena dalam setiap materi (zat) terdapat anti materi yang
apabila direaksikan, keduanya akan menghilang dan berubah menjadi seberkas
cahaya atau sinar gama.
Hal ini telah
dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam tinjauan Agus Mustofa (2004:31),
bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau elektron
dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel tersebut
akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi masing-masing
0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeV untuk pasangan partikel proton.
Sebaliknya,
jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan
inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah
pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa
berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi
Annihilasi.
Kemungkinan hal ini terjadi sesaat setelah Jibril membersihkan hati
Nabi SAW dengan air zam-zam. Kenapa harus hati? Karena hati merupakan pusat
dari segala energi pada manusia. Segala perubahan individu dapat diketahui
dengan melihat frekuensi hatinya. Dengan “mereaksikan” hati diharapkan ada
perubahan karena hati merupakan pusat sistem energi. Dengan segala kehendak-Nya
Allah SWT menyuruh Jibril agar “memanipulasi” sistem energi yang ada pada tubuh
Nabi SAW. Maka dalam sekejap tubuh material beliau diubah menjadi cahaya dengan
reaksi annihilasi. Dan dapat melakukan perjalanan bersama Jibril dengan
mengendarai Buraq dengan wujud yang berbeda, yaitu menjadi wujud cahaya.
b)
Dilatasi Waktu
مِّنَ اللّٰهِ ذِى الۡمَعَارِجِؕ ﴿۳﴾ تَعۡرُجُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ وَ الرُّوۡحُ اِلَيۡهِ
فِىۡ يَوۡمٍ كَانَ مِقۡدَارُهٗ خَمۡسِيۡنَ اَلۡفَ سَنَةٍۚ ﴿۴﴾
“Dari Allah, yang mempunyai
tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari
yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”
(Q.S Al-Ma’arrij : 3-4)
Ayat
diatas menerangkan tentang konsep dilatasi waktu sebagaimana yang dikemukakan
oleh Albert Einstein dalam teori relativitasnya. Teori Relativitas
membahas mengenai Struktur Ruang dan Waktu serta mengenai hal hal yang berhubungan
dengan Gravitasi. Teori relativitas terdiri dari dua teori fisika, relativitas
umum dan relativitas khusus. Teori relativitas khusus menggambarkan perilaku
ruang dan waktu dari perspektif pengamat yang bergerak relatif terhadap satu
sama lain, dan fenomena terkait. Tetapi yang akan penulis bahas yaitu tentang
relativitas khusus dan efeknya yang disebut dilatasi waktu (dari bahasa Latin: dilatare
“tersebar”, “delay”).
Dalam
teori relativitas khusus, Einstein mengemukakan
bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya,
akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan
suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang
dialaminya (t`): perlambatan waktu. Hingga ketika kecepatan benda menyamai
kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. Demikian,
namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan
pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya
waktu menjadi mundur (-t’).
Misalnya
kita ambil contoh tentang fenomena ini sebagaimana yang dikenal dengan paradoks
anak kembar. Dua saudara kembar yang kita beri nama Dina dan Dono. Dono tinggal
di Bumi dan Dina terbang keluar angkasa ke sebuah planet di tata surya yang
jauh dengan kecepatan cahaya dan kembali ke bumi dengan kecepatan yang sama.
Setelah mereka bertemu kembali dibumi ternyata umur Dina lebih muda daripada umur Dono yang tetap
tinggal dibumi, disebabkan si traveler (Dina) mengalami phenomenon time dilation
atau fenomena dilatasi waktu dalam perjalanannya.
(1)
(2) (3)
(4) (5)
*gambar diatas ilustrasi paradoks
kembar
Namun, apa
hubungan dilatasi waktu tadi dengan peristiwa Isra’? sebagaimana yang kita
ketahui, Nabi SAW beserta Jibril dengan mengendarai Buraq melakukan perjalanan
Isra dengan kecepatan 300.000 km/detik dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang berjarak 1500 km. Berarti mereka melakukan perjalanan itu hanya dengan
0,005 detik saja. Hal itu mungkin saja terjadi mengingat badan beliau yang
sudah diubah menjadi cahaya dan dalam perjalanannya mengalami dilatasi waktu.
Sehingga dapat melakukannya dalam sekejap mata.
c)
Alasan
Malam Hari
Pemilihan peristiwa ini pada malam hari sebenarnya lebih bersifat
teknis. Pada siang hari radiasi sinar matahari
demikian kuatnya, sehingga bisa
membahayakan badan Rasulullah SAW, yang
sebenarnya memang bukan badan
cahaya. Badan Nabi yang sesungguhnya tentu saja, adalah materi. Perubahan
menjadi badan cahaya itu hanya bersifat sementara, sesuai kebutuhan untuk
melakukan perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari,
maka Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi
gelombang yang akan membahayakan badannya. Suasana malam memberikan kondisi
yang baik untuk perjalanan itu. (Mustofa, 2004:36)
Sebagai gambaran sederhananya kita ambil gelombang bunyi/suara.
Pada malam hari suara cenderung terdengar lebih jernih daripada siang hari.
Begitu juga apabila kita ingin mendengar radio, maka pada malam hari cenderung
lebih jelas dan mencarinya pun tidak sulit. Hal ini terjadi karena pada malam
hari tidak banyak terjadi gangguan dan
interferensi.
B.
Peristiwa
Mi’raj Dalam Tinjauan Fisika Modern
Mereka
melakukan perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hanya dengan
sekejap mata yang berjarak sekitar 1500 km, mungkin itu tidak ada artinya bagi
mereka mengingat kecepatan yang dilakukan sebesar 300.000 km/detik. Tetapi,
pada perjalanan kedua yaitu Mi’raj terasa berbeda. Karena jarak antara bumi dan
Sidratul Muntaha yang begitu jauh.
Hitungan
kasar menghasilkan kecepatan ruh dan malaikat adalah 18.250.000 (delapan belas
juta dua ratus lima puluh ribu; lima puluh ribu kali jumlah hari dalam satu
tahun) kali kecepatan kita. Misalkan kita ambil kecepatan lari unta adalah 25
km/jam dalam sehari efektif delapan jam perjalanan, maka kita menempuh jarak
200 km dalam sehari. Jika Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke langit dan kembali ke
bumi dilakukan mulai jam delapan malam sampai dengan jam empat pagi, maka dalam
perjalanannya Nabi SAW mencapai kejauhan satu miliar delapan ratus dua puluh
lima juta kilometer dari bumi. Perjalanan ini baru melampaui Planet Saturnus,
tetapi belum sampai Uranus apalagi Neptunus. (Purwanto,
2008:311)
Maka perjalanan kedua ini tidak memakai lagi
konsep relativitas khusus seperti pada perjalanan pertama. Setelah mereka tiba
di Masjidil Aqsha, badan Nabi SAW tidak lagi berbadan cahaya tetapi sudah
kembali dalam bentuk materinya. Hal ini sama dengan konsep teleportasi seperti
yang banyak ditayangkan oleh film fiksi ilmiah. Pada perjalanan Mi’raj ini kita
gunakan pendekatan perjalanan dimensional.
Dalam tinjauan Agus Mustofa
(2004:57) ia mengungkapkan bahwa Nabi SAW, Jibril, serta Buraq melakukan Mi’raj
dengan mengarungi alam semesta atau langit. Yang disebut langit sebenarnya
bukanlah sebuah bidang batas di angkasa sana, melainkan sebuah ruang tak
berhingga besar yang memuat triliunan benda-benda angkasa. Mulai dari batuan
angkasa yang berukuran kecil, satelit semacam bulan, planet-planet, matahari
dan bintang, galaksi hingga superkluster.
Istilah
langit dalam bahasa Inggris, barangkali memberikan gambaran yang lebih jelas : Sky.
Dalam bahasa Indonesia disebut sebagai 'Angkasa'. Istilah lainnya adalah space.
Sehingga, angkasa di luar Bumi disebut sebagai Outer Space. Jadi langit
adalah Ruang Angkasa.
Pemahaman tentang langit ini penting untuk menyamakan
persepsi kita tentang perjalanan Mi'raj
Rasulullah SAW. Sebab, dalam
pemahaman tradisional selama ini, kita memperoleh kesan betapa langit itu digambarkan
sebagai atap alias 'langit-langit'. Bahkan digambarkan pula sebagai atap yang
ada pintu-pintunya, yang kemudian harus dibuka sebagaimana pintu rumah.
Ketika Rasulullah SAW ingin memasuki langit yang lebih tinggi.
Allah SWT menjelaskan bahwa langit
terdiri dari 7 tingkat. Sebagaimana
Firman-Nya :
"Maka
Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit
urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 12)
Pada ayat itu “langit yang dekat”
merujuk pada langit pertama atau sering kita sebut sebagai langit dunia. Di
langit dunia ini berdimensi tiga yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan,
serta segala benda langit yang mengisinya.
Makna ‘dekat’ diatas bukan berarti
jaraknya yang begitu dekat dari manusia, bahkan bintang terdekat pun
membutuhkan waktu 428 tahun untuk datang kesana. Itu pun kalau kita menggunakan
pesawat tercepat milik manusia, misalnya Challenger, atau Columbia yang berkecepatan
20.000 km per jam. Dengan kecepatan yang lebih tinggi pun masih sangat lama
jarak tempuhnya yaitu sekitar 8 tahun. Jarak bintang terjauh pun memerlukan
waktu hingga 10 miliar tahun. Sungguh, usia manusia tidak akan mampu
mencapainya apalagi untuk mengarungi alam semesta.
Lanjut Agus Mustofa (2004:67) ternyata
alam semesta kita ini memang demikian besarnya. Diperkirakan diameternya
mencapai 30 miliar tahun cahaya.
Artinya, jika cahaya mencoba menyeberang
alam semesta dari tepi kiri menuju tepi kanan, ia butuh waktu selama 30
miliar tahun. Sungguh sebuah ukuran yang sangat besar.
Dari segi tinjauan Fisika, alam
semesta terdiri dari 4 hal yaitu materi, energi, ruang, dan waktu. Keempat hal
itu memiliki fungsi yang berbeda-beda.
'Ruang' berfungsi sebagai wadah. 'Waktu' berperanan mengikat usia.
'Benda' sebagai pengisi. Dan 'energi' sebagai penggerak terjadinya dinamika.
Menurut Agus (2004:75), bahwa materi
dan energi itu bagaikan sebuah timbangan. Jika sifat materinya menonjol, maka sifat energinya menjadi lemah dan
tersimpan sebagai potensi saja. Sebaliknya jika sifat materinya melemah, maka
sifat energinya akan menonjol. Maka, jika kita ingin memperoleh energi dari
suatu benda, kita harus merusak benda tersebut sehingga massanya berkurang.
Selisih massa itulah yang berubah menjadi energi. Dan secara ekstrim, kita
lantas bisa menciptakan energi yang luar biasa
besarnya dengan cara memusnahkan materi menjadi energi, mengikuti rumus
Einstein yang sangat terkenal, yaitu E = mc2. Reaksi itu disebut
sebagai reaksi Annihilasi.
Begitulah, alam semesta ini tersusun
dari partikel materi dan energi. Jika di sana ada materi dalam jumlah
besar, maka sebagian besar energinya
akan tersimpan sebagai potensi. Misalnya, jika di alam ini terbentuk matahari
baru, maka matahari itu adalah sebuah material yang menyimpan energi. Energi
panas yang tersimpan di dalamnya sebagian dilepaskan dengan cara bereaksi
secara termonuklir.
Para ahli Fisika Modern menyimpulkan
bahwa alam semesta ini terbentuk dari adanya materi, energi, ruang dan waktu
secara bersamaan. Bahkan ketika alam semesta belum ada, keempat komponen ini
pun tidak ada. Yang terjadi hanyalah ‘ketiadaan mutlak’. Ketika alam semesta
ini terbentuk, maka keempat komponen itu terbentuk, berubah, dan mengembang
sampai sekarang.
Perubahan ruang dan waktu
berpengaruh pada perubahan materi dan energi. Sebaliknya, perubahan materi dan
energi ternyata juga berpengaruh pada ruang dan waktu. Keempat komponen itu
sepenuhnya berfungsi membentuk alam semesta. Jika tidak ada salah satu dari
keempatnya, maka alam semesta tidak akan berbentuk sepertl sekarang. Ambillah
contoh, jika tidak ada materi (benda): maka alam semesta ini juga tidak akan
terbentuk seperti sekarang. Hanya terbentuk
dari tiga unsur. Sementara kita
tahu bahwa energi adalah bentuk lain dari materi (benda). Tidak ada benda,
berarti tidak ada energi. Maka tidak mungkin alam semesta ini hanya tersusun
dari 'ruang' dan 'waktu' saja. Jika tidak ada materi dan energi, ruangan juga
tidak terbentuk dan tidak bermakna. Ruang hanya terjadi ketika ada materi. Demikian
pula 'waktu', ia hanya akan ada jika ada 'materi' dan 'ruang' yang
dikenal oleh perubahannya.
Untuk memahami alam semesta ini,
terkadang ada sebagian informasi yang menyatakan bahwa setiap tingkatan langit
terdapat sebuah pintu yang ada penjaganya. Sebaiknya kita ubah persepsi itu,
karena sebaiknya kita memahami tentang kondisi langit yang sesungguhnya, yang terbentang
dalam realitas kehidupan kita. Makna dari pintu itu sebagaimana yang
digambarkan dalam Q.S An Naba': 18-19 lebih kepada ‘jalan tembus’ antar langit.
Mulai dari langit pertama yang berdimensi 3 hingga langit ke tujuh yang
berdimensi 9.
Lanjut Agus dalam bukunya (2004:88),
ia mengilustrasikan sebagai berikut :
Bayangkanlah
sebuah pesawat angkasa luar yang akan lepas landas dari Bumi
menuju bulan. Maka pesawat tersebut
tidak bisa ‘seenaknya’ melepaskan
diri dari muka Bumi bergerak lurus menuju Bulan. Ia harus melewati Iintasan
berputar naik, sebelum lepas dari permukaan Bumi. Nah, lintasan naik ke arah
bulan itu diinterpretasikan sebagai
'tangga' menuju langit. Selain itu, ada tangga kenaikan yang bersifat dimensional.
Menurut
Einstein, selama ini kita hidup, bekerja dan dan memperlakukan sesuatu di dalam
ruang yang diam-diam kita anggap datar. Padahal ruang-waktu melengkung sehingga
tarik-menarik antar dua objek dapat terjadi.
Dalam memahami konsep dimensi ini
memang agak sulit, apalagi bagi orang awam. Masih dalam tinjauan Agus
Mustofa (2004:91), ia memberi beberapa ilustrasi. Menurutnya, bayangkan dunia
ini sebagai balon udara yang berdimensi tiga. Lalu berilah tanda
bulatan-bulatan kecil di permukaan balon yang kita anggap itu sebagai benda
langit seperti matahari, bulan, bintang, galaksi, planet, dan lain sebagainya.
Bulatan yang berada di permukaan itu berdimensi dua, dan bayangkan pula
titik-titik yang kita anggap sebagai
penghuni dari salah satu bulatan kecil di permukaan tersebut (bumi).
Apabila ingin melakukan perjalanan
ke luar angkasa, kita sebagai penghuni salah satu dari bulatan kecil itu harus
melewati bulatan-bulatan kecil lainnya pada permukaan itu. Misal kita melewati
permukaan itu satu putaran, maka yang terjadi kita akan kembali lagi ke bumi.
Disebabkan bentuk balon udara yang melengkung. Tetapi kalaupun bisa, usia
manusia tidak akan mampu melakukannya karena membutuhkan waktu yang sangat
lama.
Begitulah
analogi (persamaan) bentuk alam semesta. Langit kita ini berbentuk lengkung,
bagaikan sebuah permukaan balon. Hanya bedanya, permukaan balon adalah 'ruang'
berdimensi 2 alias luasan, sedangkan langit kita yang sesungguhnya adalah ruang
berdimensi 3 alias volume.
Ilustrasi
diatas masih mengenai langit pertama, lantas dimanakah langit kedua, ketiga,
hingga ketujuh ? Ternyata langit kedua tidak bersusun seperti kue lapis
terhadap langit yang pertama. Melainkan, tersusun secara dimensional. Jika kita
asumsikan setiap langit bertambah 1 dimensi pada setiap kenaikan tingkatnya,
maka langit pertama adalah alam berdimensi 3, dan langit keduanya adalah alam
berdimensi 4.
Kita
bayangkan kembali bola tadi. Apabila manusia ingin melakukan perjalanan luar
angkasa, maka yang harus ia lakukan adalah dengan mengelilingi permukaan balon
tersebut. Padahal, sebenarnya ada jarak yang lebih pendek, berupa garis lurus.
Jarak yang lebih pendek itu adalah lewat 'ruangan' di tengahnya balon. Jadi,
jika 'kita' (titik-titik) mau bergerak dari titik A di tepi kiri balon ke titik
B di tepi kanannya, kita bisa menempuhnya dengan dua cara: yang pertama adalah
lewat permukaan balon (Iintasan melengkung). Dan yang kedua adalah menembus
ruangan di tengah-tengah balon (Iintasan lurus).
Itulah
perumpamaan antara langit pertama yang berdimensi tiga dan langit kedua yang
berdimensi empat. Sebenarnya jarak dari kedua langit itu terletak secara
berdampingan. Sebagaimana permukaan bola tadi dengan ruang di dalamnya. Atau seperti
bayang-bayang di permukaan tembok, dengan ruangan di sebelahnya. Masing-masing memuat benda yang berbeda.
Dalam langit sesungguhnya, kita
gambarkan penghuni langit pertama adalah manusia dan penghuni langit kedua jin.
Seperti yang terlihat pada gambar diatas, kita umpamakan manusia sebagai
makhluk yang hidup dipermukaan tembok dan jin sebagai makhluk yang mengisi
ruang itu. Sehingga kita sebut manusia sebagai makhluk ‘luas’ dan jin sebagai
makhluk ‘volume’. Kedua makhluk itu hidup berdampingan tetapi berbeda dunia dan
tidak bisa bercampur satu sama lain. Kenapa
bisa seperti itu? Karena dalam gambar itu kita analogikan manusia sebagai
makhluk 2 dimensi dan jin makhluk 3 dimensi. Manusia sebagai makhluk luas tidak
bisa masuk ke dunia jin, tetapi jin dapat masuk ke dunia manusia karena
tingkatan dimensi jin lebih tinggi daripada manusia. Tetapi dalam dimensi
sesungguhnya, manusia berdimensi 3 dan jin berdimensi 4.
Jarak dunia Jin lebih pendek
daripada jarak dunia manusia. Misalnya kita ingin pergi dari Jakarta ke
Surabaya, maka jarak yang harus kita tempuh sekitar 1000 km. Tetapi bagi Jin
jarak tempuh Jakarta-Surabaya itu dapat lebih pendek. Karena lintasan dunia Jin
membentuk garis lurus sedangkan lintasan dunia manusia membentuk lengkungan
mengikuti permukaan bola.
Menurut
kenyataan astronomi, langit pertama yang dihuni manusia sedang berkembang
(expanding universe). Maka, bayangkanlah ia seperti sebuah balon yang sedang
ditiup. Permukaan elastis balon tersebut akan mengembang ke segala arah
mengikuti tiupan. Jarak antar titik (gambar bulatan) di permukaan bola itu akan
ikut menjauh, karena permukaan balon tersebut mengembang. Pengembangan itu
menjadi mungkin, karena balon udara tesebut berada di dalam ruangan bebas
berdimensi 3. Sehingga seberapa besar pun balon itu mau mengembang, tetap bisa
diwadahi oleh ruang berdimensi 3 di mana ia berada. (Mustofa, 2004: 100)
Dalam
konteks yang sesungguhnya, langit pertama yang dihuni manusia ini memang sedang
mengembang ke langit kedua. Persis seperti sebuah balon yang mengembang di
ruang bebas 3 dimensi. Lengkungan langit pertama (3 dimensi) bisa mengembang
karena ia berada di dalam Langit kedua yang berdimensi 4.
Lalu bagaimana dengan langit ketiga dan
seterusnya? Semakin besar tingkatan langit, maka semakin tinggi pula
dimensinya. Langit pertama berdimensi 3, langit kedua berdimensi 4, langit
ketiga berdimensi 5, dan seterusnya. Untuk langit ketiga, keempat, hingga
ketujuh ini kita tidak dapat menggambarkannya secara nyata, berhubung ruang
lingkup manusia yang berada dalam dimensi 3. Tak ada seorang pun di dunia ini
yang dapat menggambarkan dimensi yang lebih tinggi dari dimensi 3.
Alternatifnya, dapat di gambarkan dengan menurunkan tingkat dimensi seperti
yang telah dijelaskan di atas tentang langit kedua.
Apabila
kita kaji ulang tentang struktur tingkatan langit ini, dugaan awal menyatakan
bahwa tiap tingkatan langit bertingkat hanya satu arah ke atas. Perhatikan
gambar no 1! Ini merupakan dugaan struktur langit berlapis tujuh yang paling
tradisional. Pemikiran yang lebih modern menyatakan bahwa langit terstruktur ke
segala penjuru alam semesta, tetapi tidak menjelaskan tentang perbedaan
dimensinya. Sebagaimana yang tergambar dalam gambar no 2 di bawah ini.
(1) (2)
Pemikiran yang paling mutakhir
mempersepsi langit bertingkat tujuh sebagai peningkatan dimensi dari 3 sampai
9. Untuk itu, kita tidak mungkin bisa menggambarkan secara utuh, kecuali dengan
cara memproyeksikan ke langit pertama yang berdimensi 3. Secara analogi, kita
lantas bisa membuat perumpamaan sebagai berikut.
Gb. 1. Garis
adalah 'alam' berdimensi 1 - yang tersusun dari 'titik-titik' berjumlah tidak
berhingga
Gb. 2 Luasan
adalah alam berdimensi 2 - yang tersusun dari 'garis-garis' berjumlah tidak
berhingga
Gb. 3 Volume
atau balok adalah alam berdimensi 3 - yang tersusun dari lembaran-lembaran luasan
berjumlah tak berhingga
Pada gambar diatas, garis (dimensi
1) tersusun dari titik-titik yang tidak terhingga. Lalu, garis-garis yang tak
terhingga itu akan membentuk lembaran (dimensi 2) dan lembaran-lembaran itu
akan membentuk balok (dimensi 3). Sehingga bisa disimpulkan bahwa balok yang
berdimensi 3 itu mengandung garis-garis (dimensi 1) dan lembaran-lembaran
(dimensi 2) yang tidak terhingga.
Agus Mustofa (2004:114) mengatakan
bahwa sebuah 'ruang' selalu tersusun oleh 'ruang' berdimensi lebih rendah
dalam jumlah yang tidak berhingga.
Misalnya, ruang 3 dimensi tersusun oleh ruang 2 dimensi dalam jumlah tidak
berhingga. Sedangkan ruang 2 dimensi juga tersusun atas ruang 1 dimensi
dalam jumlah tak berhingga.
Setelah penjelasan dimensi yang
telah penulis jelaskan, secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi
SAW melakukan Mi’raj ini dengan menembus langit pertama yang berdimensi 3
hingga langit ketujuh yang berdimensi 9. Kondisi Nabi SAW sama dengan
bayang-bayang yang berada pada tembok yang ingin melepaskan diri ke dunia
ruang. Kenapa hal itu dapat terjadi, sedangkan dimensi Nabi SAW lebih rendah
dari langit-langit itu? Karena untuk menembus dimensi yang lebih tinggi
diperlukan bantuan makhluk yang berada pada dimensi-dimensi itu. Hal ini
mungkin saja terjadi mengingat kehadiran Malaikat Jibril yang merupakan makhluk
langit ke tujuh yang berdimensi 9. Allah SWT sengaja mengutus Jibril untuk
membantu Nabi SAW karena perjalanan ini bukan atas kemauan Nabi SAW melainkan kehendak-Nya.
Isra’ dan Mi’raj tidak mungkin dapat
dijelaskan secara eksak dan tuntas, tetapi penjelasan dengan teori relativitas
dan dimensi ini sudah memberi penjelasan yang memadai. Hal yang paling penting
memang bukan tuntasnya penjelasan, melainkan pesan ilmiah yang tersirat
didalamnya. Manusia hanya bisa menduga-duga dengan ilmu yang dipelajarinya,
selebihnya hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Wallahu a’lam bisshowab.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah penulis bahas sebelumnya, maka penulis berkesimpulan
sebagai berikut :
1.
Isra dan Mi’raj
merupakan dua peristiwa yang berbeda. Yaitu
terpisah menjadi peristiwa Isra’ dan peristiwa Mi’raj yang terjadi
secara bersamaan dalam satu malam. Isra adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW
bersama Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan mengendarai buraq. Sedangkan Mi’raj adalah diangkatnya Nabi bersama Jibril dari bumi
(Masjidil Aqsha) naik ke langit ke tujuh
hingga Sidratul Muntaha dengan mengarungi dimensi ruang dan waktu.
2.
Sejarah fisika dimulai pada tahun sekitar 2400 SM. Terbagi
kepada empat periode, yaitu periode pertama, periode kedua, periode ketiga
(fisika klasik), dan periode keempat (fisika modern). Fisika modern lahir untuk
menjelaskan beberapa fenomena yang tidak bisa di jelaskan oleh fisika klasik,
misalnya fenomena mikroskopis. Salah satunya yaitu tentang kecepatan cahaya
(relativitas) yang dipelopori oleh Albert Einstein pada abad ke 19.
3.
Perjalanan
Isra’ Nabi SAW dimulai dengan pengubahan badan Nabi SAW menjadi badan cahaya,
yang dalam fisika modern dikenal dengan reaksi Annihilasi. Lalu perjalanan
dilanjutkan dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya sehingga Nabi SAW,
Jibril, dan Buraq dapat sampai di Masjidil Aqsha dengan sekejap mata.
4.
Perjalanan
Mi’raj Nabi SAW bukanlah perjalanan ‘luar angkasa’ yang menempuh jarak berjuta
atau bermiliar kilometer. Tetapi perjalanan lintas dimensi dengan menembus
batas-batas langit dari langit pertama hingga langit ke tujuh.
B. Saran
1. Isra’
Mi’raj merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang keberadaannya dijelaskan dengan ilmu
pengetahuan maupun tidak, tetap
kewajiban kita harus meyakininya.
2. Sebaiknya
umat Islam pandai mengambil dan mempelajari pesan-pesan ilmiah yang tersirat
maupun tidak terhadap berbagai fenomena yang termasuk keagungan-Nya.
3. Sebagai
umat Islam, seharusnya kita jangan kalah bersaing dengan non-Islam, khususnya
di bidang IPTEK dan penelitiannya.
4. Kepada
pihak sekolah, sebaiknya menanamkan jiwa rasa ingin tahu yang besar dan
pengetahuan-pengetahuan islami kepada peserta didiknya agar tercipta generasi
“ulul albab” yang selalu mengkaji dan mentafakuri segala keagungan-Nya.
Daftar
Pustaka
Ali, Yunasril. 2005. Ensiklopedia
Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.
Anonim. 2009. Isra Miraj Dan Teori Relativitas.
[on line]
Tersedia: http://nisyadiaries28.blogspot.com/2013/04/4-periode-sejarah-fisika-menuju-era.html. [10 Agustus 2014]
KBBI.
2013. KBBI Pustaka Utama. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mustofa, Agus.2004 . Terpesona di Sidratul Muntaha. Surabaya
: Padma. Purwanto, Agus.2008 . Ayat-ayat Semesta. Bandung : Mizan Media
Utama.
Ramadhan,
Soni. 2008. Sejarah Perkembangan Ilmu Fisika. [on line].
Tersedia: http://budakfisika.blogspot.com/2008/09/sejarah-perkembangan-ilmu-fisika.html.
[10 Agustus 2014]
Ridha,
Muhammad. 2010. Sirah Nabawiyyah (diterjemahkan oleh : H.Anshori
Umar). Bandung : Irsyad Baitus Salam.
Komentar
Posting Komentar